Kelebihan asupan protein daging merusak
DNA sel; sel onkogen berubah sifat menjadi sel kanker. Kerja hati dan ginjal
juga meningkat bila asupan daging berlebih, selain darah berubah lebih bersifat
asam. Karena tubuh lebih asam, membutuhkan lebih banyak kalsium untuk
menetralkannya. Banyak makan daging tanpa kecukupan asupan kalsium, tulang jadi
keropos (osteoporosis).
Asam amino pembentuk protein daging
tidak semua terserap oleh tubuh karena untuk memecahnya memerlukan lebih
beragam enzim. Kekurangan enzim menurangi kemampuan menerima protein. Akibat tak
dicerna sempurna, protein membususk di usus menjadi “racun” (indole, H2S, nitrosamine,
histamine, radikal bebas). Selain itu, tubuh butuh kalori lebih besar untuk
mengolah sisa cerna daging yang tidak sempurna, lalu menyisakan lebih banyak
radikal bebas. Kita tahu kini radikal bebas jadi musuh utama orang sekarang. Membanjirnya
radikal bebas dalam tubuh ikut mencetuskan munculnya semua penyakit degenerative,
selain kanker.
Dilaporkan pula usus orang Amerika yang
tinggi konsumsi dagingnya tidak sebersih usus orang Okinawa, nelayan disebuah
pulau kecil di Jepang, yang pola makannya lebih banyak sumber nabati ketimbang
hewani. Terungkap pula penyakit usus diverculitis selain kanker usus besar,
ternyata banyak menimpa penyuka daging. Kita perlu belajar sehat dari orang
Okinawa yang umurnya seratusan tahun (centenarian) karena kebiasaan makan yang
bersesuaian dengan yang tubuh manusia butuhkan (studi Harvard selama 25 tahun
di masyarakat Okinawa). Sebaliknya, terungkap bahwa pola makan pengidap kanker
terbukti lebih banyak porsi daging.
Studi di Tiongkok menambah bukti :
asupan daging berlebih mencetuskan kejadian kanker. Kita tahu orang Tiongkok
secara genetic bersifat homogeny. Jadi, kalau ada provinsi di Tiongkok yang
angka kankernya lebih tinggi, bukan faktor gen penyebabnya. Belakangan terungkap,
propinsi yang angka kankernya paling tinggi ternyata paling banyak porsi makan
dagingnya (The Chin Study, T Colin Campbell).
Gigi manusia sudah menunjukkan kalau
asal nutrisi yang tubuh butuhkan lebih nabati ketimbang hewani. Jumlah dan
susunan gigi-geligi simpanse sama persis dengan manusia. Kalau sinpanse tidak
ada yang terserang jantung, atau stroke, itu barangkali lantaran simpanse tidak
makan bistik. Simpanse lebih 95 persen mengonsumsi nabati, hanya 5 persen
mengonsumsi daging dari serangga atau tikus. Menu orang Okinawa terbilang menu
tersehat di dunia karena lebih banyak memilih ubi ketimbang donat.
Selain angka kanker orang Okinawa
terendah di dunia, pembuluh darahnya juga tergolong paling bersih tanpa
penyumbat karak lemak atherosclerosis. Hal lain, kadar homocysteine orang
Okinawa rendah, bahkan terendah di dunia. Homocysteine produk ikutan metabolisme
protein daging. Penyakit pembuluh darah yang berujung serangan jantung dan
stroke, homocysteine jadi salah satu faktor pemburuknya. Pola makan ke-“barat-barat”-an
dilaporkan meningkatkan homocysteine darah.
Garis tangan kesehatan manusia sudah
menunjukkan kalau kita bukanlah harimau (animal-based diet), melainkan lebih
sebagai kera dan kambing yang pemakan tumbuhan (plant-based diet). Kultur yang
menciptakan bistik, lapis legit, dan sosis, menu yang betul enak di lidah,
tetapi buruk di badan. Organisasi Kesehatan Dunia tahun lalu mengingatkan agar
menjauhi semua daging olahan karena tinggi kandungan pencetus kanker (karsinogen).
Di antaranya nitrit dan nitrosamine pada sosis dan bacon. Pencetus kanker
dioxin sebagai limbah bakaran sudah mencemari daging olahan yang kita konsumsi.
Yang dibutuhkan tubuh itu nasi sepiring,
sepotong tempe-tahu, ikan pepes, sayur. Menu sejenis itu yang memenuhi
kecukupan tiga perlima zat pati, seperempat protein, dan selebihnya lemak
secara berimbang (balance diet). Komposisi menu seperti itu yang bersesuaian
dengan yang diminta tubuh.
Timbul pertanyaan, haruskan berhenti
makan daging? Jawabannya tentu tidak. Namun daging dalam bistik sudah melebihi
asupan protein tubuh karena sudah memadai dipenuhi hanya dengan seperempat
total kebutuhan kalori dalam sehari. Lapis legit memasukkan ke tubuh lebih
banyak lemak selain protein telur dan kolesterol mentega. Sosis memasukkan zat
kimiawi tambahan (food additive) yang tak menyehatkan. Sejatinya tubuh butuh
lebih banyak sayur-mayur dan buah, selain umbi-umbian, kacang-kacangan, dan
biji-bijian, seperti lazim isi meja makan nenek kita dulu.
Tentu tak cukup hanya tempe-tahu, tubuh
kita tetap butuh protein hewani selain dari protein nabati. Namun, tak perlu
menelannya berlebihan, cukuplah dari sekerat daging, dan tak pelu sebesar
potongan bistik. Sesungguhnya ikan sebagai sumber protein hewani harus lebih
dipilih dibandingkan daging karena lemak tak jenuh ikan (unsurated fatty acid)
lebih menyehatkan dibandingkan lemak jenuh daging (saturated fatty acid). Kalau
daging sedang sukar didapat dan harganya makin tidak terjangkau, maengapa kita tidak
menukarnya dengan ikan, yang selain lebih murah juga lebih menyehatkan?
*Ditulis
oleh : Pribakti B (dokter RSUD
Ulin Banjarmasin)
Sumber
tulisan : Media Kalimantan, 19 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar